Senin, 01 September 2014

ide-ide pembangunan lain

PEMBANGUNAN LAIN (ANOTHER DEVELOPMENT)
Penulis
1.      Anisa                          1216041016
2.      Antonia Linawati       1216041018
3.      Johansyah                   1216041018
4.      M. Eko Prasetyo         1216041018
5.      Nadiril Syah               1216041018
6.      Novita Sari                 1216041074
7.      Ria Rustiana Widia    1216041088
8.      Ridha Ayu Amalia     1216041090
9.      Sholehudin Ridlwan 1216041018

P.S                   : Ilmu Administrasi Negara
Mata Kuliah    : Teori Pembangunan
Dosen             : Meiliyana, S.IP., M.A.

2.jpg

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
15 Agustus 2014
Ide-ide Pembangunan Lain
Pembangunan lain (another development) merupakan jawaban bagi serangkaian kritik dan keberatan terhadap  paradigma modernisasi dan aliran depedensia.  Kepedulian terhadap degradasi lingkungan hidup sebagai dampak dari kegiatan pembangunan diwujudkan dalam bentuk pendekatan pembangunan berwawasan lingkungan. Kesenjangan yang semakin membesar yang tidak sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan secara makro memicu pemikiran pembangunan egalitarian, yang diwujudkan dalam bentuk pendekatan kebutuhan dasar. Pendekatan pembangunan lainnya adalah pembangunan berwawasan etnik. Pendekatan ini menawarkan jalan keluar bagi masalah ketersediaan ruang hidup bagi keberlangsungan etnik, khususnya minoritas, yang tidak diperhatikan secara memadai, baik dalam paradigma modernisasi maupun dependensia.
1.      Pembangunan egalitarian
Konsepsi pembangunan ini berkembang sebagai jawaban atas ketidakberhasilan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menggapai semua lapisan masyarakat. Pengalaman pembangunan di beberapa negara menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada skala nasional, ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dari sebagian besar masyarakatnya, bahkan dalam beberapa kasus diiringi dengan meningkatnya kemiskinan absolute.
Di negara-negara berkembang, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting namun hampir selalu sangat sulit untuk diwujudkan secara bersamaan. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannnya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi pilihan yang harus diambil. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melakukan dan berhak menikmati hasil-hasilnya, kalangan elit-kaya raya yang minoritas, ataukah mayoritas rakyat miskin. Seandainya yang diserahi wewenang  itu adalah kelas elit yang kaya maka mereka akan memacu pertumbuhan dengan baik, hanya saja ketimpangan pendapatan dan kemiskinan absolut semakin parah, sebaliknya yang dipilih adalah mayoritas miskin, maka segenap hasilnya akan dibagikan secara merata dan hal ini kurang memungkinkan terpacunya GNP secara agregat atau nasional.
Terlepas dari persoalan etrebut, sekarang banyak negara-negara berkembang yang cukup berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, mulai menyadari bahwa pertumbuhan yang tinggi tersebut ternyata belum membuahkan manfaat yang berarti bagi para anggota masyarakatnya yang paling miskin dan paling membutuhakan taraf hidup.
Fenomena ini mengggarisbawahi sebuah kenyataan penting, yakni bahwasanya pembangun ekonomi tidak seyogyanya semata-mata diukur berdasarkan peningkatan GNP secara keseluruhan maupun perkapita saja. Kita juga harus memperhatikan sejauh manakah distribusi pendapatan telah menyebar ke segenap penduduk atau lapisan masyarakt, serta siapa saja yang telah menikmati manisnya buah pembangunan.
Meskipun fokus utamanya adalah pada ketimpangan distribusi ekonomis atas pendapatan dan aset, namun perlu diingat bahwa keduanya hanya merupakan bagian kecil dari seluruh ketimpangan di negara-negara berkembang. Selain ketimpangan ekonomis, masih ada ketimpangan kekuasaan, prestise, status, jenis kelamin, kepuasan kerja, kondisi kerja, tingkat partisipasi, kebebasan memilih, atau ketimpangan hak politik yang kesemuanya merupakan komponen fundamental dari hakekat konsepsi pembangunan yakni upaya menegakkan harga diri dan kebebasan untuk memilih.
Jadi, Pembangunan kebutuhan manusia harus secara materil maupun non materil. Kebutuhan non materil diperlukan dimana manusia tidak hanya memerlukan pemenuhan kebutuhan untuk hidup melainkan  martabat individu dan masyarakat serta kebebasan mereka untuk merencanakan tujuan hidupnya tanpa hambatan. Kebutuhan pokok mengacu pada cara hidup bukan pada prasayarat untuk bertahan hidup.
Dalam menghadapi ketimpangan pendapatan dan mencapai pembangunan yang egalitarian diperlukan beberapa kebijakan didalamnya yaitu :
1)   Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang khusus dirancang untuk mengubah harga-harga faktor produksi
2)   Perbaikan distribusi pendapatan melalui redistribusi progresif kepemilikan aset-aset
3)   Pengalihan sebagian pendapatan golongan atas ke golongan bawah melalui pajak pendapatan dan kekayaan yang progresif
4)   Peningkatan ukuran distribusi kelompok penduduk termiskin melalui pembayaran transfer secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa konsumsi atas tanggungan pemerintah.

Contoh :
Kenaikan pendapatan masyarakat tidak berarti ketimpangan akan turun. Data gini ratio (GR) yang merupakan indikator ketimpangan menunjukan hal itu. Jika angka GR semakin kecil, semakin bagus pemerataan pendapatan, sedangkan GR yang semakin besar semakin tinggi ketimpangannya. Data UNDP 2007/2008 menunjukan bahwa GR Indonesia adalah 34,3. Angka tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan GR Namibia 74,3 (tertinggi di dunia) ataupun beberapa negara Afrika yang diatas 60 seperti Lesotho, Botswana, dan Central Africa Republic, yang pada umumnya negara sedang berkembang. Sedangkan beberapa negara makmur justru distribusi pendapatannya baik seperti Swedia 25, Finlandia 26,9, Norwegia 25,8, dan Denmark 24,7 (terendah di dunia). Sedangkan negara maju seperti Jepang memiliki GR 24,9 (termasuk salah satu paling rendah di dunia), dan Jerman 28,3. Ini berarti beberapa negara kaya dan maju ternyata dapat membagi kue ekonominya dengan baik. Sementara beberapa negara maju lainnya GR-nya relatif tinggi seperti Amerika Serikat 40,8, Singapura 42,5, dan Hongkong 43,4, contoh negara kaya yang pemerataan pendapatannya kurang baik sehingga tidak bisa disimpulkan bahwa pendapatan naik pemerataan akan membaik.

2.      Pembangunan Berwawasan etnis (Ethnodevelopment)
Sekitar 40 % masyarakat dari seluruh negara-bangsa (nation state) di dunia ini terdiri dari lima etnik atau lebih, yang seringkali mengalami berbagai bentuk diskriminasi sosial, politik maupun ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir ini, konflik-konflik etnik, bahkan perang saudara, yang bersumber dari ketegangan antaretnik terus meningkat. Lebih jauh, ketegangan antaretnik itu sendiri berkembang karena timpangnya kepemilikan atas sumber-sumber daya yang berharga, misalnya tidak adilnya kesempatan kerja yang tersedia (suku yang dominan biasanya menguasai lapangan kerja). Penduduk pribumi di banyak negara biasanya menderita kemiskinan yang lebih parah ketimbang rata-rata penduduk, jumlah penduduk pribumi itu sendiri diperkirakan mencapai 300 juta jiwa, tersebar di 70 negara. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagaian besar penduduk pribumi itu hidup dalam kemiskinan absolut. Mereka mangalamai malnutrisi, buta huruf, hidup dalam lingkungan kesehatan yang buruk, serta menganggur. Sebagai contoh, para peneliti menemukan bahwa di Meksiko, lebih dari 80% penduduk pribuminya miskin, padalah hanya 18% dari penduduk nonpribumi di negara itu yang masih bergulat dengan kemiskinan.
Dari latar belakang masalah diatas, pembangunan etnis (ethnodevelopment) juga merupakan salah satu poin penting dalam proses pembangunan. Seringkali etnis yang berada dalam wilayah yang mengalami pembangunan tidak mendapatkan perhatian. Pembangunan ini didasari pemikiran bahwa pengembangan potensi dari berbagai kelompok etnis yang berbeda untuk menghindari perseteruan. Strategi pembangunan ini dalam kerangka pluralisme cultural. Berbagai komunitas yang berbeda dalam masyarakat memiliki adat istiadat yang unik serta system nilai yang berbeda. Sehingga konsep pembangunan ini merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak budaya, religious, dan bahasa.  Berbagai masalah dapat muncul akibat pluralism cultural ini, diantaranya perebutan sumberdaya alam yang langka, ketidakseimbangan regional, masalah distribusi, bursa tenaga kerja, dan lain-lain.
Contoh :
Sejauh ini baru Malaysia yang secara terbuka memasukkan konsep ethnodevelopment dalam formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP dirancang dan digunakan untuk menjamin agar buah pembangunan dapat dirasakan kepada semua warga negara secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan masyarakat pribumi Malaysia (Faaland, et al. 1990). Inilah barangkali sebab utama adanya data mengenai distribusi antar etnis dalam setiap publikasi data Malaysia.
3.      Pembangunan mandiri
Konsep ini mengandung arti bahwa setiap masyarakat pada dasarnya mengandalkan kekuatan dan sumber daya sendiri (Sumber daya manusia, Sumber daya alam dan kekuatan budaya). Merupakan antitesis dari “ketergantungan”.  Kemandirian merupakan jalan keluar terhadap kesenjangan yang disebabkan oleh interaksi. Sampai batas tertentu pemikiran radikal ini telah mendorong negara-negara miskin untuk mencoba lebih mandiri dan independen dalam upaya-upaya pembangunan mereka, meskipun dalam prakteknya hal itu sangat sulit. Kelompok-kelompok tertentu di negara-negara berkembang (seperti para tuan tanah dan pengusaha militer, pejabat pemerintah) dituding turut menikmati penghasilan yang tidak sepatutnya. Kelompok elit pengusaha yang kepentingan utamanya adalah melestarikan sistem kapitalis karena mereka memang mendapatkan banyak keuntungan darinya.
Ada tiga faktor atau komponen utama pada pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, yaitu :
1.      Akumulasi modal, yang meliputi setiap bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.
2.      Pertumbuhan penduduk yang beberapa tahun selanjutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja.
3.      Kemajuan teknologi.
Besar kecilnya potensi pertumbuhan ekonomi bagi suatu negara jelas sangat dipengaruhi oleh kuantitas maupun kualitas dari sumber daya yang dimilikinya, baik itu sumber daya fisik atau kekayaan alam maupun sumber daya manusia, jumlah serta tingkat keterampilan atau pendidikannya, pandangan hidup mereka, tingkat kebudayaan, sikap-sikap atau penilaian mereka terhadap pekerjaan, dan besar-kecilnya untuk memperbaiki diri secara kreatif dan otonom.
Harapan untuk mandiri masih bisa diperoleh dengan cara menggabungkan daya dan kekuatan ekonomi mereka sendiri. Kerja sama antara sesama negara-negara berkembang juga dapat memperkuat kekuatan tawar-menawar mereka dalam menghadapi negara-negara maju, serta memungkinkan mereka untuk bersikap lebih cermat dan selektif terhadap tawaran modal asing dan bantuan teknik yang disodorkan oleh negara-negara industri maju. 
Contoh :
Negara Cina
Strategi pembangunan mandiri berkaitan dengan strategi pertumbuhan dengan distribusi, namun strategi ini memiliki pola motivasi dan organisasi yang berbeda. Pada dekade 1970-an, strategi ini populer sebagai antitesis dari paradigma dependensia. Ini tidak bisa dilepaskan dari pengalaman India pada masa Mahatma Gandhi, Tanzania di bawah Julius Nyerere, dan Cina di bawah Mao Zendong. Konsep Mao lebih menekankan pada usaha-usaha mandiri dengan sedikit atau tanpa integrasi dengan luar. Di Cina, dikembangkan teknologi “pribumi” daripada mengimpor teknologi dari luar. Konsep “mandiri’ dibawa ke tingkat internasional oleh negara-negara non blok pada pertemuan di Lusaka tahun 1970, dan dielaborasi lebih lanjut pada konferensi non-blok di Georgetown tahun 1972. Dengan demikian konsep “mandiri” telah muncul sebagai konsep strategis dalam forum internasional sebelum konsep Tata Ekonomi Dunia Baru” (NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerjasama yang menarik dibanding menarik diri dari percaturan global. Perjuangan mengejar kemandirian pada tingkat lokal, nasional, atau regional, kadang kala bersifat revolusioner, di lain kasus kadang bersifat reaktif.
4.      Pembangunan Berwawasan Lingkungan (Eco developmental)
Pemanfaatan sumber-sumber daya alam secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek pelestariannya tersebut dengan sendirinya meningkatkan tekanan-tekanan terhadap kualitas lingkungan hidup yang pada akhirnya pasti akan mengancam swasembada atau kecukupan pangan segenap penduduk di negara-negara Dunia Ketiga, kondisi pemerataan distribusi pendapatan serta potensi pertumbuhan ekonomi mereka di masa-masa yang akan datang.
Kerusakan atau degradasi lingkungan juga dapat menyusutkan laju pembangunan ekonomi. Hal ini amat mudah dimengerti karena kerusakan lingkungan akan menurunkan tingkat produktivitas sumber daya alam serta memunculkan berbagai macam masalah kesehatan dan gangguan kenyamanan hidup. Pada gilirannya, semua ini harus dipikul dengan biaya yang sangat tinggi.
Ide pembangunan ini didasari keprihatinan mengenai kelangkaan sumberdaya alam. Kelangkaan sumberdaya alam menjadi penyebab konflik antar manusia dalam satu negara maupun antar negara. Pengalaman menunjukkan tidak mudah memadukan ekologi dan pembangunan.  Namun harus  mulai dipikirkan memasukkan factor ekologi dalam menyusun strategi pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi di masa mendatang dan kualitas kehidupan umat manusia secara keseluruhan sangat ditentukan oleh kualitas lingkungan hidup yang ada pada saat ini. Pencapaian suatu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan yang sekaligus ramah terhadap lingkungan pada dasarnya merupakan suatu definisi yang paling fundamental dari istilah atau konsep “pembangunan ekonomi” itu sendiri. Namun, semakin banyak ahli ekonomi pembangunan yang sepakat bahwa pertimbangan dan perhitungan lingkungan harus dijadikan bagian yang integral dari setiap inisiatif kebijakan.
Sebenarnya dalam taraf individual banyak yang bisa kita lakukan tanpa harus mengeluarkan biaya ekstra demi menyelamatkan lingkungan. Namun dalam skala yang lebih besar, dalam rangka menciptakan perubahan-perubahan lingkungan hidup secara esensial memang dibutuhkan sejumlah besar investasi, pengembangan teknologi antipolusi dan penyempurnaan manajemen sumber daya. Sampai batas tertentu, peningkatan output akan mengorbankan lingkungan hidup. Demikian pula sebaliknya, upaya pelestarian lingkungan hidup mengharuskan kita untuk menahan diri dalam mengejar output yang lebih tinggi.
Pembangunan lingkungan (ecodevelopment) memegang peranan penting dalam menentukan maju atau berhasil atau tidaknya suatu pembangunan tersebut, tidak akan ada gunanya apabila tingkat perekonomian suatu negara yang tinggi tetapi kondisi alamnya rusak. Karena pembangunan  sebagai perencanaan jangka panjang dan menyangkut generasi yang akan datang.
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa yang paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup global sebenarnya adalah satu miliar orang yang paling kaya dan satu miliar orang yang paling miskin. Peranan mereka dalam menimbulkan degradasi lingkungan hidup jauh lebih besar daripada 3,2 miliar penduduk dunia berpenghasilan menengah. Kenyataan ini kemudian ditafsirkan sebagai logika argumen yang menyatakan bahwa peningkatan status ekonomi penduduk miskin akan memperparah kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan negara-negara industri maju merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap tercemarnya udara dan air, termasuk laut. Negara maju memiliki tingkat emisi yang demikian tinggi sehingga perlu melakukan upaya pembatasan.
Upaya dalam mengatasi masalah-masalah degradasi lingkungan :
1)   Perhitungan nilai lingkungan hidup
Tidak dimasukannya biaya-biaya lingkungan dari kalkulasi GNP merupakan salah satu penyebab masih terabaikannya persoalan lingkungan dari ilmu ekonomi pembangunan selama ini. Kerusakan tanah, sumber-sumber air, dan hutan-hutan yang diakibatkan oleh metode produksi yang kurang terencana dan tidak efisien jelas dapat mengurangi tingkat produktivitas nasional, terutama dalam jangka panjang, namun ekses-ekses tersebut acapkali disisihkan dari perhitungan semata-mata demi memunculkan angka-angka GNP yang mengesankan.
Para perencana pembangunan harus selalu melibatkan perhitungan lingkungan dalam perumusan-perumusan kebijakan-kebijkan mereka. Sebagai contoh, kelestarian, atau sebaliknya kerusakan, lingkungan hidup harus dihitung sebagai faktor penambah atau faktor pengurang tingkat pertumbuhan ekonomi serta tingkat kemajuan kesejahteraan penduduk secara agregat (keseluruhan).
2)   Kebijakan dari negara berkembang untuk melindungi negaranya dari degradasi lingkungan, yaitu terdiri dari :
a)    Penentuan harga sumber daya secara memadai
b)   Partisipasi masyarakat
c)    Hak milik dan kepemilikan sumber daya yang lebih jelas
d)   Program-program untuk memperbaiki dan meningkatkan alaternatif-alternatif ekonomi bagi penduduk miskin
e)    Peningkatan status ekonomi kaum wanita
f)    Kebijakan penanggulangan emisi industri

3)   Kebijakan negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang
a)    Kebijakan perdagangan negara-negara dunia pertama
b)   Pemberian keringanan hutang
c)    Bantuan dari negara-negara dunia pertama

4)   Kebijakan negara maju untuk menyelamatkan lingkungan hidup global
a)    Pengendalian emisi
b)   Penelitian dan pengembangan
c)    Pembatasan impor
Contoh :
Tahun 2010 Universitas Adelaide mempublikasikan hasil penelitiannya soal lingkungan. Empat negara yakni Brazil, Amerika Serikat, China dan Indonesia dinyatakan sebagai negara paling berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di muka bumi. Ada tujuh indikator yang digunakan untuk mengukur degradasi lingkungan yakni pengundulan hutan, pemakaian pupuk kimia, polusi air, emisi karbon, penangkapan ikan, dan ancaman spesies tumbuhan dan hewan, serta peralihan lahan hijau menjadi lahan komersial seperti mal, pusat perdagangan, dan perkebunan. Negara yang paling berkontribusi dalam perusakan lingkungan adalah : Brazil, Amerika Serikat, China, Indonesia, Jepang, Meksiko, India, Rusia, Australia, Peru.



Daftar Pustaka :
Todaro. Michael P. 1987. Economic Development in the Third World. New York dan London : Longman
Budiman, Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Bjorn, Hettne. Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia
http://dedifahradi.blogspot.com/2011/03/evolusi-makna-pembangunan.html

http://books.google.co.id/books?id=XeG7_eWYLFYC&pg=PA149&lpg=PA149&dq=konsep+pembangunan+egalitarian&source=bl&ots=CvD0vVePS-&sig=NxvAh29hYXJNFn8-RFDPguMtkNM&hl=id&sa=X&ei=akXoU9yNJNXp8AWMtICQCQ&ved=0CB4Q6AEwAg#v=onepage&q=konsep%20pembangunan%20egalitarian&f=false

Tidak ada komentar:

Posting Komentar