PEMBANGUNAN
LAIN (ANOTHER DEVELOPMENT)
Penulis
1.
Anisa 1216041016
2.
Antonia Linawati 1216041018
3. Johansyah
1216041018
4. M.
Eko Prasetyo 1216041018
5. Nadiril
Syah 1216041018
6. Novita
Sari 1216041074
7. Ria
Rustiana Widia 1216041088
8. Ridha
Ayu Amalia 1216041090
9.
Sholehudin Ridlwan 1216041018
P.S
:
Ilmu Administrasi Negara
Mata
Kuliah : Teori Pembangunan
Dosen
:
Meiliyana, S.IP., M.A.

JURUSAN
ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
LAMPUNG
15
Agustus 2014
Ide-ide Pembangunan Lain
Pembangunan lain (another development)
merupakan jawaban bagi serangkaian kritik dan keberatan terhadap paradigma modernisasi dan aliran
depedensia. Kepedulian terhadap
degradasi lingkungan hidup sebagai dampak dari kegiatan pembangunan diwujudkan
dalam bentuk pendekatan pembangunan berwawasan lingkungan. Kesenjangan yang
semakin membesar yang tidak sejalan dengan meningkatnya kesejahteraan secara
makro memicu pemikiran pembangunan egalitarian, yang diwujudkan dalam bentuk
pendekatan kebutuhan dasar. Pendekatan pembangunan lainnya adalah pembangunan
berwawasan etnik. Pendekatan ini menawarkan jalan keluar bagi masalah
ketersediaan ruang hidup bagi keberlangsungan etnik, khususnya minoritas, yang
tidak diperhatikan secara memadai, baik dalam paradigma modernisasi maupun
dependensia.
1. Pembangunan
egalitarian
Konsepsi
pembangunan ini berkembang sebagai jawaban atas ketidakberhasilan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi menggapai semua lapisan masyarakat. Pengalaman pembangunan
di beberapa negara menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada skala
nasional, ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dari sebagian besar
masyarakatnya, bahkan dalam beberapa kasus diiringi dengan meningkatnya
kemiskinan absolute.
Di
negara-negara berkembang, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara
pertumbuhan dan distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting namun hampir
selalu sangat sulit untuk diwujudkan secara bersamaan. Pengutamaan yang satu
akan menuntut dikorbankannnya yang lain. Pembangunan ekonomi mensyaratkan GNP
yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi pilihan
yang harus diambil. Namun, yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana
caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melakukan dan berhak menikmati
hasil-hasilnya, kalangan elit-kaya raya yang minoritas, ataukah mayoritas
rakyat miskin. Seandainya yang diserahi wewenang itu adalah kelas elit yang kaya maka mereka
akan memacu pertumbuhan dengan baik, hanya saja ketimpangan pendapatan dan kemiskinan
absolut semakin parah, sebaliknya yang dipilih adalah mayoritas miskin, maka
segenap hasilnya akan dibagikan secara merata dan hal ini kurang memungkinkan
terpacunya GNP secara agregat atau nasional.
Terlepas
dari persoalan etrebut, sekarang banyak negara-negara berkembang yang cukup
berhasil mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, mulai
menyadari bahwa pertumbuhan yang tinggi tersebut ternyata belum membuahkan
manfaat yang berarti bagi para anggota masyarakatnya yang paling miskin dan
paling membutuhakan taraf hidup.
Fenomena
ini mengggarisbawahi sebuah kenyataan penting, yakni bahwasanya pembangun
ekonomi tidak seyogyanya semata-mata diukur berdasarkan peningkatan GNP secara
keseluruhan maupun perkapita saja. Kita juga harus memperhatikan sejauh manakah
distribusi pendapatan telah menyebar ke segenap penduduk atau lapisan
masyarakt, serta siapa saja yang telah menikmati manisnya buah pembangunan.
Meskipun
fokus utamanya adalah pada ketimpangan distribusi ekonomis atas pendapatan dan
aset, namun perlu diingat bahwa keduanya hanya merupakan bagian kecil dari
seluruh ketimpangan di negara-negara berkembang. Selain ketimpangan ekonomis,
masih ada ketimpangan kekuasaan, prestise, status, jenis kelamin, kepuasan kerja,
kondisi kerja, tingkat partisipasi, kebebasan memilih, atau ketimpangan hak
politik yang kesemuanya merupakan komponen fundamental dari hakekat konsepsi
pembangunan yakni upaya menegakkan harga diri dan kebebasan untuk memilih.
Jadi,
Pembangunan kebutuhan manusia harus secara materil maupun non materil. Kebutuhan
non materil diperlukan dimana manusia tidak hanya memerlukan pemenuhan
kebutuhan untuk hidup melainkan martabat
individu dan masyarakat serta kebebasan mereka untuk merencanakan tujuan
hidupnya tanpa hambatan. Kebutuhan pokok mengacu pada cara hidup bukan pada
prasayarat untuk bertahan hidup.
Dalam
menghadapi ketimpangan pendapatan dan mencapai pembangunan yang egalitarian
diperlukan beberapa kebijakan didalamnya yaitu :
1) Perbaikan
distribusi pendapatan fungsional melalui serangkaian kebijakan yang khusus
dirancang untuk mengubah harga-harga faktor produksi
2) Perbaikan
distribusi pendapatan melalui redistribusi progresif kepemilikan aset-aset
3) Pengalihan
sebagian pendapatan golongan atas ke golongan bawah melalui pajak pendapatan
dan kekayaan yang progresif
4) Peningkatan
ukuran distribusi kelompok penduduk termiskin melalui pembayaran transfer
secara langsung dan penyediaan berbagai barang dan jasa konsumsi atas
tanggungan pemerintah.
Contoh
:
Kenaikan
pendapatan masyarakat tidak berarti ketimpangan akan turun. Data gini ratio
(GR) yang merupakan indikator ketimpangan menunjukan hal itu. Jika angka GR
semakin kecil, semakin bagus pemerataan pendapatan, sedangkan GR yang semakin
besar semakin tinggi ketimpangannya. Data UNDP 2007/2008 menunjukan bahwa GR
Indonesia adalah 34,3. Angka tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan GR
Namibia 74,3 (tertinggi di dunia) ataupun beberapa negara Afrika yang diatas 60
seperti Lesotho, Botswana, dan Central Africa Republic, yang pada umumnya
negara sedang berkembang. Sedangkan beberapa negara makmur justru distribusi
pendapatannya baik seperti Swedia 25, Finlandia 26,9, Norwegia 25,8, dan
Denmark 24,7 (terendah di dunia). Sedangkan negara maju seperti Jepang memiliki
GR 24,9 (termasuk salah satu paling rendah di dunia), dan Jerman 28,3. Ini
berarti beberapa negara kaya dan maju ternyata dapat membagi kue ekonominya
dengan baik. Sementara beberapa negara maju lainnya GR-nya relatif tinggi
seperti Amerika Serikat 40,8, Singapura 42,5, dan Hongkong 43,4, contoh negara
kaya yang pemerataan pendapatannya kurang baik sehingga tidak bisa disimpulkan
bahwa pendapatan naik pemerataan akan membaik.
2. Pembangunan
Berwawasan etnis (Ethnodevelopment)
Sekitar 40 % masyarakat dari seluruh
negara-bangsa (nation state) di dunia ini terdiri dari lima etnik atau lebih,
yang seringkali mengalami berbagai bentuk diskriminasi sosial, politik maupun
ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir ini, konflik-konflik etnik, bahkan
perang saudara, yang bersumber dari ketegangan antaretnik terus meningkat.
Lebih jauh, ketegangan antaretnik itu sendiri berkembang karena timpangnya
kepemilikan atas sumber-sumber daya yang berharga, misalnya tidak adilnya
kesempatan kerja yang tersedia (suku yang dominan biasanya menguasai lapangan
kerja). Penduduk pribumi di banyak negara biasanya menderita kemiskinan yang
lebih parah ketimbang rata-rata penduduk, jumlah penduduk pribumi itu sendiri
diperkirakan mencapai 300 juta jiwa, tersebar di 70 negara. Hasil penelitian
menunjukan bahwa sebagaian besar penduduk pribumi itu hidup dalam kemiskinan
absolut. Mereka mangalamai malnutrisi, buta huruf, hidup dalam lingkungan
kesehatan yang buruk, serta menganggur. Sebagai contoh, para peneliti menemukan
bahwa di Meksiko, lebih dari 80% penduduk pribuminya miskin, padalah hanya 18%
dari penduduk nonpribumi di negara itu yang masih bergulat dengan kemiskinan.
Dari latar belakang masalah diatas,
pembangunan etnis (ethnodevelopment) juga merupakan salah satu poin penting dalam
proses pembangunan. Seringkali etnis yang berada dalam wilayah yang mengalami
pembangunan tidak mendapatkan perhatian. Pembangunan ini didasari pemikiran
bahwa pengembangan potensi dari berbagai kelompok etnis yang berbeda untuk
menghindari perseteruan. Strategi pembangunan ini dalam kerangka pluralisme
cultural. Berbagai komunitas yang berbeda dalam masyarakat memiliki adat
istiadat yang unik serta system nilai yang berbeda. Sehingga konsep pembangunan
ini merupakan bentuk perlindungan terhadap hak-hak budaya, religious, dan
bahasa. Berbagai masalah dapat muncul
akibat pluralism cultural ini, diantaranya perebutan sumberdaya alam
yang langka, ketidakseimbangan regional, masalah distribusi, bursa tenaga
kerja, dan lain-lain.
Contoh
:
Sejauh
ini baru Malaysia yang secara terbuka memasukkan konsep ethnodevelopment dalam
formulasi Kebijaksanaan Ekonomi Baru-nya (NEP). NEP dirancang dan digunakan
untuk menjamin agar buah pembangunan dapat dirasakan kepada semua warga negara
secara adil, baik ia dari komunitas Cina, India, dan masyarakat pribumi
Malaysia (Faaland, et al. 1990). Inilah barangkali sebab utama adanya data
mengenai distribusi antar etnis dalam setiap publikasi data Malaysia.
3. Pembangunan
mandiri
Konsep ini mengandung arti bahwa setiap
masyarakat pada dasarnya mengandalkan kekuatan dan sumber daya sendiri (Sumber
daya manusia, Sumber daya alam dan kekuatan budaya). Merupakan antitesis dari
“ketergantungan”. Kemandirian merupakan
jalan keluar terhadap kesenjangan yang disebabkan oleh interaksi. Sampai batas
tertentu pemikiran radikal ini telah mendorong negara-negara miskin untuk
mencoba lebih mandiri dan independen dalam upaya-upaya pembangunan mereka,
meskipun dalam prakteknya hal itu sangat sulit. Kelompok-kelompok tertentu di
negara-negara berkembang (seperti para tuan tanah dan pengusaha militer,
pejabat pemerintah) dituding turut menikmati penghasilan yang tidak sepatutnya.
Kelompok elit pengusaha yang kepentingan utamanya adalah melestarikan sistem
kapitalis karena mereka memang mendapatkan banyak keuntungan darinya.
Ada
tiga faktor atau komponen utama pada pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa,
yaitu :
1. Akumulasi
modal, yang meliputi setiap bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan
pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.
2. Pertumbuhan
penduduk yang beberapa tahun selanjutnya akan memperbanyak jumlah angkatan
kerja.
3. Kemajuan
teknologi.
Besar kecilnya potensi pertumbuhan
ekonomi bagi suatu negara jelas sangat dipengaruhi oleh kuantitas maupun
kualitas dari sumber daya yang dimilikinya, baik itu sumber daya fisik atau
kekayaan alam maupun sumber daya manusia, jumlah serta tingkat keterampilan
atau pendidikannya, pandangan hidup mereka, tingkat kebudayaan, sikap-sikap
atau penilaian mereka terhadap pekerjaan, dan besar-kecilnya untuk memperbaiki
diri secara kreatif dan otonom.
Harapan untuk mandiri masih bisa
diperoleh dengan cara menggabungkan daya dan kekuatan ekonomi mereka sendiri.
Kerja sama antara sesama negara-negara berkembang juga dapat memperkuat
kekuatan tawar-menawar mereka dalam menghadapi negara-negara maju, serta
memungkinkan mereka untuk bersikap lebih cermat dan selektif terhadap tawaran modal
asing dan bantuan teknik yang disodorkan oleh negara-negara industri maju.
Contoh
:
Negara
Cina
Strategi pembangunan mandiri berkaitan
dengan strategi pertumbuhan dengan distribusi, namun strategi ini memiliki pola
motivasi dan organisasi yang berbeda. Pada dekade 1970-an, strategi ini populer
sebagai antitesis dari paradigma dependensia. Ini tidak bisa dilepaskan dari
pengalaman India pada masa Mahatma Gandhi, Tanzania di bawah Julius Nyerere,
dan Cina di bawah Mao Zendong. Konsep Mao lebih menekankan pada usaha-usaha
mandiri dengan sedikit atau tanpa integrasi dengan luar. Di Cina, dikembangkan
teknologi “pribumi” daripada mengimpor teknologi dari luar. Konsep “mandiri’
dibawa ke tingkat internasional oleh negara-negara non blok pada pertemuan di Lusaka
tahun 1970, dan dielaborasi lebih lanjut pada konferensi non-blok di Georgetown
tahun 1972. Dengan demikian konsep “mandiri” telah muncul sebagai konsep
strategis dalam forum internasional sebelum konsep Tata Ekonomi Dunia Baru”
(NIEO) lahir dan menawarkan anjuran kerjasama yang menarik dibanding menarik
diri dari percaturan global. Perjuangan mengejar kemandirian pada tingkat
lokal, nasional, atau regional, kadang kala bersifat revolusioner, di lain
kasus kadang bersifat reaktif.
4. Pembangunan
Berwawasan Lingkungan (Eco developmental)
Pemanfaatan sumber-sumber daya alam
secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek pelestariannya tersebut dengan
sendirinya meningkatkan tekanan-tekanan terhadap kualitas lingkungan hidup yang
pada akhirnya pasti akan mengancam swasembada atau kecukupan pangan segenap
penduduk di negara-negara Dunia Ketiga, kondisi pemerataan distribusi
pendapatan serta potensi pertumbuhan ekonomi mereka di masa-masa yang akan
datang.
Kerusakan atau degradasi lingkungan juga
dapat menyusutkan laju pembangunan ekonomi. Hal ini amat mudah dimengerti
karena kerusakan lingkungan akan menurunkan tingkat produktivitas sumber daya
alam serta memunculkan berbagai macam masalah kesehatan dan gangguan kenyamanan
hidup. Pada gilirannya, semua ini harus dipikul dengan biaya yang sangat
tinggi.
Ide pembangunan ini didasari
keprihatinan mengenai kelangkaan sumberdaya alam. Kelangkaan sumberdaya alam
menjadi penyebab konflik antar manusia dalam satu negara maupun antar negara.
Pengalaman menunjukkan tidak mudah memadukan ekologi dan pembangunan. Namun harus
mulai dipikirkan memasukkan factor ekologi dalam menyusun strategi
pembangunan.
Pertumbuhan ekonomi di masa mendatang
dan kualitas kehidupan umat manusia secara keseluruhan sangat ditentukan oleh
kualitas lingkungan hidup yang ada pada saat ini. Pencapaian suatu pertumbuhan
ekonomi secara berkesinambungan yang sekaligus ramah terhadap lingkungan pada
dasarnya merupakan suatu definisi yang paling fundamental dari istilah atau
konsep “pembangunan ekonomi” itu sendiri. Namun, semakin banyak ahli ekonomi
pembangunan yang sepakat bahwa pertimbangan dan perhitungan lingkungan harus
dijadikan bagian yang integral dari setiap inisiatif kebijakan.
Sebenarnya dalam taraf individual banyak
yang bisa kita lakukan tanpa harus mengeluarkan biaya ekstra demi menyelamatkan
lingkungan. Namun dalam skala yang lebih besar, dalam rangka menciptakan
perubahan-perubahan lingkungan hidup secara esensial memang dibutuhkan sejumlah
besar investasi, pengembangan teknologi antipolusi dan penyempurnaan manajemen
sumber daya. Sampai batas tertentu, peningkatan output akan mengorbankan
lingkungan hidup. Demikian pula sebaliknya, upaya pelestarian lingkungan hidup
mengharuskan kita untuk menahan diri dalam mengejar output yang lebih tinggi.
Pembangunan lingkungan (ecodevelopment)
memegang peranan penting dalam menentukan maju atau berhasil atau tidaknya
suatu pembangunan tersebut, tidak akan ada gunanya apabila tingkat perekonomian
suatu negara yang tinggi tetapi kondisi alamnya rusak. Karena pembangunan sebagai perencanaan jangka panjang dan
menyangkut generasi yang akan datang.
Berbagai penelitian telah membuktikan
bahwa yang paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup global
sebenarnya adalah satu miliar orang yang paling kaya dan satu miliar orang yang
paling miskin. Peranan mereka dalam menimbulkan degradasi lingkungan hidup jauh
lebih besar daripada 3,2 miliar penduduk dunia berpenghasilan menengah.
Kenyataan ini kemudian ditafsirkan sebagai logika argumen yang menyatakan bahwa
peningkatan status ekonomi penduduk miskin akan memperparah kerusakan
lingkungan hidup. Sedangkan negara-negara industri maju merupakan pihak yang
paling bertanggung jawab terhadap tercemarnya udara dan air, termasuk laut.
Negara maju memiliki tingkat emisi yang demikian tinggi sehingga perlu
melakukan upaya pembatasan.
Upaya
dalam mengatasi masalah-masalah degradasi lingkungan :
1) Perhitungan
nilai lingkungan hidup
Tidak
dimasukannya biaya-biaya lingkungan dari kalkulasi GNP merupakan salah satu
penyebab masih terabaikannya persoalan lingkungan dari ilmu ekonomi pembangunan
selama ini. Kerusakan tanah, sumber-sumber air, dan hutan-hutan yang
diakibatkan oleh metode produksi yang kurang terencana dan tidak efisien jelas
dapat mengurangi tingkat produktivitas nasional, terutama dalam jangka panjang,
namun ekses-ekses tersebut acapkali disisihkan dari perhitungan semata-mata
demi memunculkan angka-angka GNP yang mengesankan.
Para
perencana pembangunan harus selalu melibatkan perhitungan lingkungan dalam
perumusan-perumusan kebijakan-kebijkan mereka. Sebagai contoh, kelestarian, atau
sebaliknya kerusakan, lingkungan hidup harus dihitung sebagai faktor penambah
atau faktor pengurang tingkat pertumbuhan ekonomi serta tingkat kemajuan
kesejahteraan penduduk secara agregat (keseluruhan).
2) Kebijakan
dari negara berkembang untuk melindungi negaranya dari degradasi lingkungan,
yaitu terdiri dari :
a) Penentuan
harga sumber daya secara memadai
b) Partisipasi
masyarakat
c) Hak
milik dan kepemilikan sumber daya yang lebih jelas
d) Program-program
untuk memperbaiki dan meningkatkan alaternatif-alternatif ekonomi bagi penduduk
miskin
e) Peningkatan
status ekonomi kaum wanita
f) Kebijakan
penanggulangan emisi industri
3) Kebijakan
negara-negara maju untuk membantu negara-negara berkembang
a) Kebijakan
perdagangan negara-negara dunia pertama
b) Pemberian
keringanan hutang
c) Bantuan
dari negara-negara dunia pertama
4) Kebijakan
negara maju untuk menyelamatkan lingkungan hidup global
a) Pengendalian
emisi
b) Penelitian
dan pengembangan
c) Pembatasan
impor
Contoh
:
Tahun
2010 Universitas Adelaide mempublikasikan hasil penelitiannya soal lingkungan.
Empat negara yakni Brazil, Amerika Serikat, China dan Indonesia dinyatakan
sebagai negara paling berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di muka bumi.
Ada tujuh indikator yang digunakan untuk mengukur degradasi lingkungan yakni
pengundulan hutan, pemakaian pupuk kimia, polusi air, emisi karbon, penangkapan
ikan, dan ancaman spesies tumbuhan dan hewan, serta peralihan lahan hijau
menjadi lahan komersial seperti mal, pusat perdagangan, dan perkebunan. Negara
yang paling berkontribusi dalam perusakan lingkungan adalah : Brazil, Amerika
Serikat, China, Indonesia, Jepang, Meksiko, India, Rusia, Australia, Peru.
Daftar
Pustaka :
Todaro.
Michael P. 1987. Economic Development in the Third World. New York dan London :
Longman
Budiman,
Arief. 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Bjorn,
Hettne. Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia
http://dedifahradi.blogspot.com/2011/03/evolusi-makna-pembangunan.html
http://books.google.co.id/books?id=XeG7_eWYLFYC&pg=PA149&lpg=PA149&dq=konsep+pembangunan+egalitarian&source=bl&ots=CvD0vVePS-&sig=NxvAh29hYXJNFn8-RFDPguMtkNM&hl=id&sa=X&ei=akXoU9yNJNXp8AWMtICQCQ&ved=0CB4Q6AEwAg#v=onepage&q=konsep%20pembangunan%20egalitarian&f=false